SEKAPUR SIRIH Memaknai Sakit Oleh: Hj. Nur Ismi *)

oleh -214 Dilihat
oleh

206a7c5d a5d7 4c0b 88b3 b401d09b8642COBALAH sejenak merenung dan membayangkan bagaimana kalau diri kita yang biasanya sehat wal-afiat dan segar-bugar mendadak pada suatu ketika ditimpa oleh suatu jenis penyakit tertentu — dan termasuk tergolong pemyakit berat dan serius.

Sehat dan sakit adalah urusan Allah SWT, dan kita sebagai manusia tidak pernah tahu kapan datangnya. Juga tidak pernah tahu kapan akan berakhirnya.  Upaya kita hanyalah tetap menjaga kondisi badan agar tetap sehat, dan berupaya mengobatinya bila ditimpa oleh penyakit.

Bila sudah ditimpa penyakit, dipastikan irama hidup kita akan mengalami perubahan — bahkan sangat drastis. Hari-hari yang biasanya dilalui tanpa beban dan bebas melakukan apa saja yang dimaui, diniscayakan akan mengalami kungkungan yang sangat menyiksa.

Syukur-syukur kita masih bisa melakukan banyak kegiatan yang tergolong ringan, bahkan tidak sedikit di antara orang yang sakit sebagian besar kegiatannya terpaksa dibantu oleh orang lain, terutama oleh orang-orang terdekatnya.

Begitu “menyeramkankah” kalau bicara soal sakit? Dalam pandangan Islam  soal sakit bisa mengarah ke dua sisi: istidraj atau rahmat (ampunan dan kasih sayang Allah), tergantung pada kondisi hati dan respon seseorang terhadap sakit tersebut.

Pertama, sakit sebagai Istidraj, adalah kondisi ketika Allah memberikan kesenangan, nikmat, atau membiarkan seseorang dalam keadaan tertentu (termasuk sakit) tanpa hidayah atau tanpa ia sadar, padahal itu adalah bentuk ujian atau hukuman yang tersembunyi.

Jika seseorang tidak sabar, tidak bersyukur, tidak bertobat, dan bahkan semakin jauh dari Allah saat sakit, maka sakit itu bisa menjadi istidraj.

Allah biarkan dia mengalami sakit, tapi tidak mendapatkan pahala, tidak ada introspeksi, malah hatinya makin keras.

QS. Al-An’am:44 – “Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami bukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, hingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.”

Kedua, sakit sebagai ampunan (rahmat). Jika seseorang mengalami sakit lalu dia sabar, ikhlas, bersyukur walaupun sedang susah serta bertaubat dan makin mendekat pada Allah SWT.

Maka sakit itu menjadi bentuk rahmat. Allah menghapus dosa, mengangkat derajat, dan menjadikan sakit itu sebagai sarana pembersih jiwa.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kesedihan, kesusahan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapus sebagian dosa-dosanya dengan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bisa disimpulkan, yaitu sakit bisa menjadi istidraj jika tidak disertai keimanan dan kesadaran dan sakit bisa menjadi ampunan jika dihadapi dengan sabar dan syukur. Yang membedakan adalah respon hati kita.

Karena itu, ketika sakit, penting untuk

introspeksi diri, banyak berzikir dan berdoa, minta ampunan Allah SWT, dan bersyukur atas kesempatan untuk memperbaiki diri.***

*) Penulis Adalah Pemimpin Redaksi/Perusahaan Majalah “Pena Amira”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.