Petani Lebih Memilih Menjual Daun daripada Mengolah Getah Gambir

oleh -921 Dilihat
oleh
Img 20240528 003317

PEMASARAN gambir melalui getah yang diproses untuk menghasilkan barang cetakan sudah banyak ditinggalkan, berpindah dengan memasarkan daun gambir.
Akibatnya, banyak ladang gambir yang tidak diolah karena pemilik lebih memilih memetik daunnya untuk dipasarkan. Pemandangan yang belakangan sering terlihat di kawasan-kawasan sentra produksi gambir adalah lalu-lintas truk pengangkut daun gambir siang dan malam, atau para kuli mengangkut daun gambir dari ladang ke perkampungan untuk dijual.
“Tidak repot,” kata Rustam (57), seorang pemilik ladang gambir di Nagari Manggilang, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Senin (27/5/2024).
Sebagai pemilik, yang sering langsung menjadi pemetik, Rustam mengaku hasil memetik daun gambir lebih lumayan dibandingkan dengan mengolah daun gambir. Bisa saja memetik 100 kg per hari, dikalikan nilai jual Rp2.000/kg, uang Rp200.000 sudah bisa dikantongi.
“Jauh lebih menguntungkan,” kata bapak tiga anak ini. Tambahan lagi, menurut Rustam, dengan menjual daun gambir, selain tidak mengeluarkan modal, urusan juga tidak ribet karena tidak melibatkan banyak orang. “Kapalo indak sakik,” katanya, yang artinya kepala tidak sakit.
Mengolah daun gambir, yang getahnya dibekukan sampai membentuk silinder seukuran uang logam Rp100 lama; selain membutuhkan modal besar, juga melibatkan banyak tenaga kerja—biasanya tiga orang untuk sebidang ladang dalam sekali masa produksi.
Daun gambir biasanya baru bisa diolah setelah tanaman berusia sekitar dua tahun. Dalam setahun, proses produksi bisa dilakukan dua kali. Lama proses produksi beragam, tergantung luas lahan dan tingkat kesuburan tanah. Rata-rata antara 20 hari sampai 1,5 bulan.
Iril (41), pemilik ladang gambir di nagari yang sama, menguraikan untuk mengolah getah gambir membutuhkan modal besar. Mulai dari penyiapan rumah dan alat-alat produksi, sampai memberi modal awal untuk pekerja yang akan melakukan proses produksi.
Hasil penjualan getah gambir yang diolah itu kemudian dibagi fifty:fifty antara pemilik dengan pekerja. Kalau pun dari hasil penjualan getah yang diolah itu pemilik mendapatkan sejumlah uang, menurut Iril, itu belum hasil bersih.
Selain dipotong biaya penyiapan rumah dan alat-alat produksi, menurut Iril, biaya pembersihan lahan juga diambilkan dari sana. “Kalau dihitung-hitung hasilnya tidak seberapa,” kata Iril. “Kadang hanya untuk menjaga agar ladang tidak merimba saja.”
Persoalan lain adalah kasus pekerja yang membuat ulah. Ujang (55), yang juga pemilik ladang, mengaku sering menghadapi kasus seperti itu. Setelah dikeluarkan modal untuk memproduksi gambirnya, ada saja di antara pekerja yang ngacir di tengah proses produksi sedang berjalan.
Kasus seperti itu sering terjadi bila pekerja didatangkan dari luar. Yang membikin berat, pekerja yang ngacir sebelumnya telah meminjam sejumlah uang dengan alasan yang beragam. “Mau dicari ke mana?” ungkap Ujang. Tidak mudah pula mencari penggantinya.
Beda dengan Rustam, karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, Ujang mempekerjakan orang lain memetik daun gambirnya dengan sistem bagi hasil. “Memang (hasilnya) tidak seberapa,” kata Ujang. Tapi ia mengaku lebih memilih cara itu karena tidak membuat pusing, dan juga tidak terancam pengempalangan utang oleh para pekerja.
Buruh juga memperoleh peluang kerja. Redi (37), seorang kuli pemetik daun gambir, mengaku sejak beberapa tahun belakangan hanya menggantungkan nafkah dari memetik daun gambir. Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga untuk biaya pendidikan sejumlah anaknya.
Redi mengaku rata-rata mendapatkan upah Rp200.000 tiap hari. “Ini hasilnya,” kata Redi, sambil menunjukkan sebuah HP android keluaran terbaru. Tapi Redi harus menguras tenaga untuk itu. Tak cuma sekali, rata-rata dalam sehari ia dua kali mengangkut daun gambir dari ladang ke perkampungan.
Ladang-ladang gambir yang daunnya dipetik biasanya jauh dari perkampungan, antara 5 sampai 10 kilometer dengan medan jalan yang berat karena naik dan turun bukit. “Karena hasilnya memadai, capek tidak terasa,” ungkap Herman (37), yang juga pemetik daun gambir.
Daun-daun gambir itu dijual ke pedagang pengumpul, yang kemudian memasarkan ke pabrik pengolahan gambir, yaitu PT Sumatera Resources International (SRI). Pabriknya berlokasi di ibukota kecamatan, Pangkalan, berjarak sekitar 5 kilometer dari Koto Alam. Perusahaan itu adalah penanaman modal asing (PMA) pengusaha dari India.
Beralihnya sistem pemasaran gambir, selain dipicu oleh berdirinya perusahaan pengolah gambir, juga disebabkan nilai jual yang murah. Sejak beberapa tahun belakangan, nilai jual gambir di tingkat pedagang pengumpul Rp20.000/kg, hanya sekali-sekali saja melebihi angka itu.
Pekerja juga tak diuntungkan. Tamsil (37), buruh pengolah gambir, mengaku dengan harga Rp20.000 per kilogram, ia hanya mendapat upah rata-rata Rp75.000 per hari. “Ingat, bekerja mengolah gambir benar-benar menguras tenaga.” Ia membahasakan dengan kalimat seperti ini: tenaga untuk bulan depan sudah terpaksa dikuras hari ini.
Idealnya Rp60.000 per kilogram,” ujar Akmal (58), seorang pengamat gambir di Limapuluh Kota. Masalahnya, proses produksi gambir membutuhkan modal besar. “Biaya kebutuhan pokok pekerja selama proses produksi juga menjadi tanggungan pemilik ladang,” imbuhnya. Akmal juga tidak menampik kasus-kasus seperti pekerja yang “nakal.”
Akmal memaklumi kalau pemilik ladang memilih membiarkan ladangnya merimba daripada diolah atau dijual dalam bentuk daun. “Beruntung sekarang daunnya bisa dijual. Kalau tidak, jauh lebih baik tidak (diolah) karena tidak cukup untuk menutup biaya produk,” ungkapnya.
Kalau masih banyak petani yang tidak mengganti tanaman di kebunnya ke komoditas lain, menurut Fendri (44), petani gambir di Nagari Sialang, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Limapuluh Kota, karena pada waktu-waktu yang tidak bisa ditentukan, komoditas ini bisa mengubah dengan drastis nasib banyak orang, terutama pemilik ladang.
Sekali lagi: mengubah dengan drastis nasib banyak orang, yang tentu saja dimungkinkan oleh nilai jual yang tinggi. Itu sering terjadi, yang puncaknya dari Januari sampai Februari 2017 lalu.
‘’Benar-benar kita merasakan kemerdekaan yang sebenarnya, setidaknya di bidang ekonomi,” ungkap Bardi (44), pekerja pengolah gambir di Nagari Koto Tuo, Kecamatan Kapur IX. Saat itu harga gambir mencapai Rp125.000/kg di tingkat pedagang pengumpul.
“Mudah kali mencari uang (ketika itu),” Bardi melanjutkan. Tiga hari saja bekerja di ladang gambir, kenangnya, setidaknya bisa membawa pulang uang bersih antara Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. ‘’Kalikan saja kalau dalam satu bulan kita penuh bekerja di ladang gambir.’’
Tidak hanya pekerja, semua pihak yang terlibat juga kecipratan, termasuk pedagang, pengrajin pembuat perlengkapan produksi gambir, kuli angkut, supir, dan lainnya. Yang paling diuntungkan adalah pemilik ladang, apalagi pemilik yang langsung menjadi tenaga pengolah di ladangnya sendiri.
Masa keemasan gambir membuat banyak masyarakat menikmati lompatan ekonomi yang ruaaar biasa. Bangunan-bangunan rumah megah, kendaraan –baik roda dua maupun empat—dari berbagai jenis dan merek tidak sulit dibeli. Tidak hanya melalui cara kreditan, tidak sedikit pula di antaranya dengan cara cash.
Hampir tiap hari bus antarwilayah, yang mengantarkan penduduk dari sejumlah perkampungan ke ibukota kabupaten, lalu-lalang membawa petani gambir dan keluarganya untuk shoping ke ibukota kabupaten. Para istri petani gambir itu tak sekadar membeli bahan kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder lainnya, tapi juga memperbanyak koleksi emasnya yang juga sudah banyak.
“Ibaratnya mencuci muka dengan air mineral,’’ begitu petani mengilustrasikan. Ketika sejumlah pekerjaan lain untuk klasifikasi kasar paling banter hanya mendapatkan upah Rp100.000 per hari, menjadi kuli di ladang gambir kala itu bisa mengantongi upah minimal Rp500.000 per hari.
Kalau seorang pekerja kasar di rumah produksi gambir mampu meraup upah antara Rp10 juta sampai Rp15 juta per bulan, hasil yang lebih tinggi diperoleh pemilik ladang gambir –yang biasanya langsung menjadi pekerja di ladang gambir miliknya–, yaitu antara Rp20 juta sampai Rp30 juta per bulan.
Tapi, zaman bertukar, musim berganti; semua hal-hal indah soal harga gambir mahal, sejak beberapa tahun belakangan hanya tinggal menjadi kenangan. Terhitung sejak Maret 2017, harga gambir tak pernah lagi mengalami lonjakan berarti.
Gambir belakangan ini sama saja dengan sejumlah komoditas perkebunan lainnya: susah-susah mengurusnya dengan mengeluarkan tenaga dan biaya yang tidak sedikit, manakala dipanen hasilnya tidak pernah mampu menutupi biaya produksi— boro-boro untuk meraup keuntungan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.